Keputusan Jaksa Agung untuk melakukan penghentian penuntutan melalui
mekanisme deponeering terhadap mantan pimpinan KPK, BW dan AS mendapat
reaksi keras. Terlihat secara kasat, betapa hukum telah tunduk pada
kekuasaan.
Reaksi muncul dari pensiunan Jenderal Polisi Sisno Adiwinoto. Dalam
rilisnya kepada media, Kamis (03-03-2016), Sisno menyatakan bahwa
penegakan hukum di Indonesia sudah tidak ideal.
Sisno berpandangan bahwa hukum telah tunduk kepada kekuasaan. "Kalau
Republik ini benar-benar negara berdasar atas hukum, semestinya
hukum-lah yang 'supreme', tapi nyatanya hukum (selalu) sub-ordinate dan
tunduk pada kekuasaan, sehingga negeri ini bukan lagi negara hukum
(rechtsstaat) melainkan negara kekuasaan (machtstaat)," demikian
disampaikan melalui rilisnya.
Mantan Kapolda Sumatera Selatan ini mengatakan, pasca era reformasi, di
negeri ini yang berkuasa adalah civil society. Ini direpresentasikan
oleh LSM-LSM, yang relatif sarat kepentingan dan mengatasnamakan rakyat.
Gerakan mereka nyat dengan melakukan desakan pada Presiden melalui
pembentukan opini.
"Presiden lalu meng-intervensi Jaksa Agung dan Kapolri," kata Sisno dalam keterangannya.
Sisno mencatat, LSM-LSM itulah yang kemudian mendorong kasus hukum Novel
Baswedan, AS dan BW untuk dideponering atau dihentikan. Padahal, syarat
utama untuk men-deponering adalah kepentingan umum.
"Menurut kriteria atau ukuran siapa kepentingan umum itu? LSM, atau
nyanyian netizen di media sosial? Tahu apa mereka tentang ke tiga kasus
tersebut? Apa betul mereka paham dan mengerti atas substansi ke 3 kasus
tersebut?" tegasnya.
Sisno berpandangan, seharusnya Presiden tegak dan tunduk pada konstitusi
dan hukum yang ada. Bukan malah tegak dan tunduk pada tekanan civil
society yang sarat dengan kepentingan.
Sisno mengungkit kasus yang sempat menimpa Komisaris Jenderal Budi
Gunawan. Ketika itu, Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai calon
Kapolri oleh Presiden Jokowi. Sebagai calon pimpinan tertinggi Polri,
Komjen Budi Gunawan lantas menjadi simbol bagi Tri Brata. Tapi dia malah
dijadikan tersangka.
"Ketika jajaran Kepolisian menempuh jalur hukum lewat praperadilan
melawan tindakan sewenang-wenang KPK, kenapa Presiden "berdiam diri"
dengan membiarkan proses hukum bergulir?" katanya.
Namun, ketika status tersangka Komjen Budi Gunawan sudah dinyatakan
tidak sah oleh Putusan PN Jakarta Selatan, Komjen Budi Gunawa ternyata
tidak dilantik jadi Kapolri.
Hal ini tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh Komjen Budi Waseso
selaku Kabareskrim dengan jajarannya. Saat melakukan gebrakan yang dia
sebut spetakuler dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi, khususnya
kasus Pelindo, dan membangkitan spirit perwira-perwira muda kepolisian,
Komjem Buwas malah dicopot dengan alasan gaduh.
"Kenapa kemudian ketika Novel, AS, dan BW yang nyata-nyata bikin gaduh
malah kasusnya di-deponeer? Lantas di mana letak equal threatment dan
keadilan terhadap sesama penegak hukum?" tegas Wakil Ketua Umum Ikatan
Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia (ISPPI) itu.
Sebagai warga negara yang tunduk pada hukum dan konstitusi, pilihan
hukum yang bisa dan perlu ditempuh adalah mengajukan judicial review
atas kewenangan deponering Jaksa Agung dalam Undang-Undang Kejaksaan ke
MK.
Atau kedua, mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa
(onrechtmatige overheidsdaad) ke PN Jakarta Selatan, atau bisa juga
gabungan keduanya, yaitu uji materi Undang-undang Kejaksaan ke MK, dan
atau ajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke PN Jaksel melawan
tindakan Jaksa Agung yang men-deponering kasus Novel, AS dan BW.(tbn/tribratanews.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar